Senin, 15 April 2013

Kebebasan Pers yang Kebablasan



            Reformasi membawa banyak perubahan di berbagai aspek negara kita yang tercinta ini, salah satunya dalam bidang kebebasan pers. Hal ini sangat disambut baik oleh banyak pihak. Tetapi seiring berjalannya waktu, kebebasan dalam pandangan orang awam seperti saya, sangat kebablasan. Semua terjadi karena orang cenderung melakukan banyak kebebasan dengan berlindung pada kata ‘demokrasi’ yang berakhir dengan menabrak norma dan aturan yang ada. Demokrasi harus memiliki logika, artinya jika dalam hubungan dengan negara lain, demokrasi digunakan untuk kepentingan nasional. Tetapi jika diterapkan di dalam negeri sendiri maka kebebasan harus juga mampu melindungi kepentingan publik yang notabene kepentingan orang banyak. Kepentingan publik disini bukan hanya menyampaikan segala sesuatu fakta yang ada, tetapi ada tanggung jawab moral dan sosial dimana selain menyampaikan fakta yang ada, harus juga melihat mana yang layak disampaikan dan mana yang tidak. Tidak ada lagi pembatasan terhadap sesuatu yang harus ditayangkan atau dicetak dan mana yang tidak layak ditayangkan maupun dicetak. Media elektronik terkesan hanya mengejar rating dan media cetak hanya mengejar oplah dan semua bermuara pada keuntungan dengan mengabaikan norma-norma yang ada.
Negara kita memang memiliki komisi penyiaran, tetapi kewengannya hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada yang berwenang untuk menayangkan atau tidak sebuah acara, tetapi tidak mempunyai wewenang melakukan eksekusi. Rekomendasi itupun, biasanya dilakukan setelah acara ditayangkan dan apabila ada protes dari masyarakat. Saya khawatir, Undang-undang pornografi yang sudah dibuat dan disahkan DPR, yang menghabiskan uang negara terlalu banyak dan merusak sistem sosial kita dengan bermunculannya demonstrasi antara yang pro dan kontra, menjadi sia-sia karena media kita pada saat yang sama mempublikasikan acara yang menurut saya melebihi batas dari sebuah kata ‘pornografi’.
Film-film bioskop yang berjudul menggoda syahwat bertajuk pendidikan seks atau apa, seakan membenarkan langkah mereka, padahal jaman sekarang yang cenderung menonton bioskop adalah anak-anak sekolah yang rata-rata datang bersama teman lawan jenisnya. Diperparah lagi oleh tidak adanya aturan dari pihak bioskop mengenai pembatasan dan pengawasan umur yang tegas bagi tiap penonton, hal ini tentu langkah bioskop agar penjualan karcisnya terus meningkat, tidak mengherankan jika angka seks bebas dan pelecehan seksual di Indonesia terus melesat.
            Iklan Reg(spasi) ini dan itu juga membanjiri layar kaca. Dari yang ingin cepat kaya, ngeramal nasib, ngeramal jodoh, mencari cinta dan sebagainya sangat tidak mendidik sekali. Hal ini cenderung membuat manusia Indonesia diajarkan untuk hidup praktis tanpa usaha keras untuk sukses, selain itu semakin membuat generasi muda kita hidup dengan bayang-bayang cinta tanpa memikirkan masa depannya lagi, semakin diperparah dengan semua sinetron berbau cinta membanjiri layar kaca. Tidak heran, cinta menjadi menu sehari-hari yang dibicarakan kalangan muda di berbagai tempat mereka kumpul, termasuk di sekolah sekalipun yang notabene merupaka tempat merancang masa depan. Mereka yang mendapat untung dalam bisnis ini, selalu menjadikan kata-kata “itulah tugas orang tua mengawasinya” sebagai senjata keramat, padahal setiap orang tua tidak selamanya di depan televisi atau mendampingi anaknya karena berbagai kegiatan seperti lazimnya kerja atau mencari nafkah yang semakin berat tentunya karena ekonomi negara yang makin kacau balau. Saya mungkin berpikir, negeri kita memang harus punya julukan baru, Republik Cinta, seperti nama salah satu manajemen grup musik ternama.
            Saya juga semakin sedih, televisi yang dulu menyandang predikat pendidikan dan merupakan stasiun favorit saya ketika kecil karena banyak acara pendidikan seperti belajar pencampuran kimia, biologi, belajar berhitung, cerita anak yang mendidik dan sebagainya sudah tidak terlihat ciri khasnya lagi dengan salah satunya selalu menayangkan acara dangdut dari sore sampai malam. Tidak ada yang salah dari kesenian dangdut, yang kurang tepat adalah menayangkan acara dengan penyanyi yang bergoyang dengan menggunakan pakaian (maaf) agak terbuka. Kemana ciri khas pendidikannya?
            Acara yang berujung pada perkelahian yang dikemas dalam acara reality show, seakan menjadi tontonan yang menarik, padahal hal ini membuat mental bangsa menjadi rusak dengan mengedepankan fisik daripada otak. Selain itu, acara debat yang sering diadakan cenderung mengadu domba dan memecah kesatuan bangsa. Debat yang benar adalah mengundang sejumlah orang yang berkompeten untuk mencari titik temu sebuah masalah menggunakan kepintaran masing-masing, tetapi yang ada malah mengadu ideologi dimana hanya keributan saja yang terjadi.
Sementara ada stasiun televisi swasta melengkapi studionya untuk debat dengan lonceng bak pertarungan tinju, seakan menguatkan maksud acara tersebut untuk mengadu 2 pihak yang bertikai, bukan menyelesaikan masalah. Sebagai contoh konyol, mengundang pihak penentang Ahmadiyah dengan AKKBB, apa maksudnya? Mencari solusi atau menmperluas permusuhan. Saling tunjuk dengan tidak sopan seakan hal yang lumrah terjadi. Padahal itu ideologi masing-masing yang tidak pernah ada titik temu. Acara itu ditonton seluruh Indonesia dan semakin meruncingkan permusuhan Ahmadiyah dengan penentangnya dan berimbas pada kestabilan nasional. Alangkah baiknya mengundang tokoh-tokoh yang bisa bersikap dingin dan berkompeten menyelesaikan masalah, bukan mengundang massa yang banyak seperti itu.
Bukankah tugas televisi untuk memberikan pelajaran yang bagus kepada publik untuk membantu pemerintah menjaga keutuhan bangsa dan negara dan menciptakan stabilitas rasa aman di masyarakat. Untuk apa pada saat yang sama terlalu membesarkan masalah-masalah yang menimbulkan pro dan kontra tentang suatu masalah yang hanya menjadi bibit perpecahan di lingkungan masyarakat. Memang ada hal yang perlu diketahui publik, tetapi agar publik memberikan pendapat yang positif atau koreksi yang positif terhadap kebijakan pemerintah dan bukannya malah belajar tentang hal-hal yang tidak perlu seperti perkelahian, sikap perlawanan terhadap aparat, dan cenderung mengedepankan kekerasan daripada pemikiran yang rasional.
            Pemberitaan kriminal juga makin tidak karuan, salah satu kasus mutilasi terjadi karena tersangka tau cara membunuh tersebut dari pemberitaan media sebelumnya, tidak salah jika tahun ini mutilasi menjadi trend yang grafiknya terus meningkat setiap bulannya. Setiap demonstrasi yang sering berujung tawuran mahasiswa menjadi pemberitaan yang menarik dan terus diulang-ulang, padahal hal itu berdampak buruk bagi pola pikir mahasiswa bahwa menyelesaikan masalah harus dengan demo, rusuh dan tawur, menghilangkan ciri khasnya sebagai pelajar yang menggunakan otak dan akalnya dengan pemikiran cerdas. Padahal jika pemberitaan tentang mahasiswa yang baik-baik, sangat mungkin memacu mahasiswa yang lain akan seperti itu, seperti Kuliah Kerja Nyata sebagai wujud bakti mahasiswa kepada masyarakat yang dilakukan UGM dan beberapa perguruan tinggi di Jogja, penemuan-penemuan alat-alat canggih yang sangat hebat, kejuaraan-kejuaraan yang dimenangkan mahasiswa, peluang beasiswa, dan sebagainya, itu baru mendidik. Ini juga memberikan pelajaran untuk pemerintah, agar cepat menanggapi dan menyelesaikan masalah dalam masyarakat tanpa menunggu masyarakat menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
            Tidak itu saja, banyak penyanyi cilik menyanyikan lagu orang dewasa, dan parahnya semua terkesima melihat aksinya tanpa melihat dampak psikologi ke depannya dan juga banyak tokoh anak-anak di film atau sinetron yang dialognya lebih pantas jika orang dewasa yang mengucapkannya. Kemana acara-acara yang mendidik? Seperti kuis yang dulu sangat banyak sehingga memancing kemampuan pemikiran kita seperti Kuis keluarga, Siapa Berani, Apa Ini Apa itu, Kata berkait, dan sebagainya? Kenapa ada acara sehari bersama artis, tetapi tidak ada acara sehari bersama Juara Olimpiade sains atau penemu penemuan hebat atau direktur utama sebuah perusahaan sukse yang dapat memacu generasi muda kita untuk belajar meneladani orang-orang sukses dan mengembangkan kreatifitasnya.
             Mungkin anak-anak sekarang jauh lebih beruntung dari saya ketika waktu kecil dulu karena dimanjakan teknologi yang serba canggih, tetapi dalam hal pendidikan, saya jauh lebih beruntung, karena masa kecil saya dalam lingkungan yang mendukung perkembangan pola pikir saya sehingga matang pada waktunya. Tentunya, semua yang ditayangkan media elektronik tidak semuanya buruk dimata saya. Saya beruntung masih ada acara-acara yang edukatif menurut saya seperti golden way Mario Teguh, kick andy, i witness, healthy life (Metro TV), laptop si unyil, bocah petualang, jejak petualang (Trans7), jelajah, john pantau, balada seorang tokoh (Trans TV), ubi rampe, teropong, horizon (Indosiar), kabar dari desa, talkshow pariwisata (TVRI), cermin hati (Global), sigi (SCTV), Jejak Rosul (TPI),  wild Indonesia (Tvone), hikmah pagi (RCTI), lensa olahraga (Antv) dan acara lainya yang tidak bisa saya sebutkan semuanya. Ini murni suara dari anak bangsa, mohon maaf jika menyinggung beberapa pihak, tiada maksud lain dari hati saya selain menginginkan dan merindukan sosok pers yang semakin baik dan mendidik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar