Reformasi
membawa banyak perubahan di berbagai aspek negara kita yang tercinta ini, salah
satunya dalam bidang kebebasan pers. Hal ini sangat disambut baik oleh banyak
pihak. Tetapi seiring berjalannya waktu, kebebasan dalam pandangan orang awam
seperti saya, sangat kebablasan. Semua terjadi karena orang cenderung melakukan
banyak kebebasan dengan berlindung pada kata ‘demokrasi’ yang berakhir dengan
menabrak norma dan aturan yang ada. Demokrasi harus memiliki logika, artinya
jika dalam hubungan dengan negara lain, demokrasi digunakan untuk kepentingan
nasional. Tetapi jika diterapkan di dalam negeri sendiri maka kebebasan harus
juga mampu melindungi kepentingan publik yang notabene kepentingan orang
banyak. Kepentingan publik disini bukan hanya menyampaikan segala sesuatu fakta
yang ada, tetapi ada tanggung jawab moral dan sosial dimana selain menyampaikan
fakta yang ada, harus juga melihat mana yang layak disampaikan dan mana yang
tidak. Tidak ada lagi pembatasan terhadap sesuatu yang harus ditayangkan atau
dicetak dan mana yang tidak layak ditayangkan maupun dicetak. Media elektronik terkesan
hanya mengejar rating dan media cetak hanya mengejar oplah dan semua bermuara
pada keuntungan dengan mengabaikan norma-norma yang ada.
Negara kita memang memiliki komisi
penyiaran, tetapi kewengannya hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada yang
berwenang untuk menayangkan atau tidak sebuah acara, tetapi tidak mempunyai
wewenang melakukan eksekusi. Rekomendasi itupun, biasanya dilakukan setelah
acara ditayangkan dan apabila ada protes dari masyarakat. Saya khawatir,
Undang-undang pornografi yang sudah dibuat dan disahkan DPR, yang menghabiskan
uang negara terlalu banyak dan merusak sistem sosial kita dengan bermunculannya
demonstrasi antara yang pro dan kontra, menjadi sia-sia karena media kita pada
saat yang sama mempublikasikan acara yang menurut saya melebihi batas dari
sebuah kata ‘pornografi’.
Film-film bioskop yang berjudul
menggoda syahwat bertajuk pendidikan seks atau apa, seakan membenarkan langkah
mereka, padahal jaman sekarang yang cenderung menonton bioskop adalah anak-anak
sekolah yang rata-rata datang bersama teman lawan jenisnya. Diperparah lagi
oleh tidak adanya aturan dari pihak bioskop mengenai pembatasan dan pengawasan umur
yang tegas bagi tiap penonton, hal ini tentu langkah bioskop agar penjualan
karcisnya terus meningkat, tidak mengherankan jika angka seks bebas dan
pelecehan seksual di Indonesia terus melesat.
Iklan
Reg(spasi) ini dan itu juga membanjiri layar kaca. Dari yang ingin cepat kaya,
ngeramal nasib, ngeramal jodoh, mencari cinta dan sebagainya sangat tidak
mendidik sekali. Hal ini cenderung membuat manusia Indonesia diajarkan untuk
hidup praktis tanpa usaha keras untuk sukses, selain itu semakin membuat
generasi muda kita hidup dengan bayang-bayang cinta tanpa memikirkan masa
depannya lagi, semakin diperparah dengan semua sinetron berbau cinta membanjiri
layar kaca. Tidak heran, cinta menjadi menu sehari-hari yang dibicarakan
kalangan muda di berbagai tempat mereka kumpul, termasuk di sekolah sekalipun
yang notabene merupaka tempat merancang masa depan. Mereka yang mendapat untung
dalam bisnis ini, selalu menjadikan kata-kata “itulah tugas orang tua
mengawasinya” sebagai senjata keramat, padahal setiap orang tua tidak selamanya
di depan televisi atau mendampingi anaknya karena berbagai kegiatan seperti
lazimnya kerja atau mencari nafkah yang semakin berat tentunya karena ekonomi
negara yang makin kacau balau. Saya mungkin berpikir, negeri kita memang harus punya
julukan baru, Republik Cinta, seperti nama salah satu manajemen grup musik
ternama.
Saya
juga semakin sedih, televisi yang dulu menyandang predikat pendidikan dan merupakan
stasiun favorit saya ketika kecil karena banyak acara pendidikan seperti
belajar pencampuran kimia, biologi, belajar berhitung, cerita anak yang
mendidik dan sebagainya sudah tidak terlihat ciri khasnya lagi dengan salah
satunya selalu menayangkan acara dangdut dari sore sampai malam. Tidak ada yang
salah dari kesenian dangdut, yang kurang tepat adalah menayangkan acara dengan
penyanyi yang bergoyang dengan menggunakan pakaian (maaf) agak terbuka. Kemana
ciri khas pendidikannya?
Acara
yang berujung pada perkelahian yang dikemas dalam acara reality show, seakan
menjadi tontonan yang menarik, padahal hal ini membuat mental bangsa menjadi
rusak dengan mengedepankan fisik daripada otak. Selain itu, acara debat yang
sering diadakan cenderung mengadu domba dan memecah kesatuan bangsa. Debat yang
benar adalah mengundang sejumlah orang yang berkompeten untuk mencari titik
temu sebuah masalah menggunakan kepintaran masing-masing, tetapi yang ada malah
mengadu ideologi dimana hanya keributan saja yang terjadi.
Sementara ada stasiun televisi swasta
melengkapi studionya untuk debat dengan lonceng bak pertarungan tinju, seakan
menguatkan maksud acara tersebut untuk mengadu 2 pihak yang bertikai, bukan
menyelesaikan masalah. Sebagai contoh konyol, mengundang pihak penentang
Ahmadiyah dengan AKKBB, apa maksudnya? Mencari solusi atau menmperluas
permusuhan. Saling tunjuk dengan tidak sopan seakan hal yang lumrah terjadi.
Padahal itu ideologi masing-masing yang tidak pernah ada titik temu. Acara itu
ditonton seluruh Indonesia dan semakin meruncingkan permusuhan Ahmadiyah dengan
penentangnya dan berimbas pada kestabilan nasional. Alangkah baiknya mengundang
tokoh-tokoh yang bisa bersikap dingin dan berkompeten menyelesaikan masalah,
bukan mengundang massa yang banyak seperti itu.
Bukankah tugas televisi untuk
memberikan pelajaran yang bagus kepada publik untuk membantu pemerintah menjaga
keutuhan bangsa dan negara dan menciptakan stabilitas rasa aman di masyarakat.
Untuk apa pada saat yang sama terlalu membesarkan masalah-masalah yang
menimbulkan pro dan kontra tentang suatu masalah yang hanya menjadi bibit
perpecahan di lingkungan masyarakat. Memang ada hal yang perlu diketahui
publik, tetapi agar publik memberikan pendapat yang positif atau koreksi yang
positif terhadap kebijakan pemerintah dan bukannya malah belajar tentang
hal-hal yang tidak perlu seperti perkelahian, sikap perlawanan terhadap aparat,
dan cenderung mengedepankan kekerasan daripada pemikiran yang rasional.
Pemberitaan
kriminal juga makin tidak karuan, salah satu kasus mutilasi terjadi karena
tersangka tau cara membunuh tersebut dari pemberitaan media sebelumnya, tidak
salah jika tahun ini mutilasi menjadi trend yang grafiknya terus meningkat
setiap bulannya. Setiap demonstrasi yang sering berujung tawuran mahasiswa menjadi
pemberitaan yang menarik dan terus diulang-ulang, padahal hal itu berdampak
buruk bagi pola pikir mahasiswa bahwa menyelesaikan masalah harus dengan demo,
rusuh dan tawur, menghilangkan ciri khasnya sebagai pelajar yang menggunakan
otak dan akalnya dengan pemikiran cerdas. Padahal jika pemberitaan tentang
mahasiswa yang baik-baik, sangat mungkin memacu mahasiswa yang lain akan
seperti itu, seperti Kuliah Kerja Nyata sebagai wujud bakti mahasiswa kepada
masyarakat yang dilakukan UGM dan beberapa perguruan tinggi di Jogja, penemuan-penemuan
alat-alat canggih yang sangat hebat, kejuaraan-kejuaraan yang dimenangkan
mahasiswa, peluang beasiswa, dan sebagainya, itu baru mendidik. Ini juga
memberikan pelajaran untuk pemerintah, agar cepat menanggapi dan menyelesaikan
masalah dalam masyarakat tanpa menunggu masyarakat menyelesaikan masalah dengan
kekerasan.
Tidak
itu saja, banyak penyanyi cilik menyanyikan lagu orang dewasa, dan parahnya
semua terkesima melihat aksinya tanpa melihat dampak psikologi ke depannya dan
juga banyak tokoh anak-anak di film atau sinetron yang dialognya lebih pantas
jika orang dewasa yang mengucapkannya. Kemana acara-acara yang mendidik?
Seperti kuis yang dulu sangat banyak sehingga memancing kemampuan pemikiran
kita seperti Kuis keluarga, Siapa Berani, Apa Ini Apa itu, Kata berkait, dan
sebagainya? Kenapa ada acara sehari bersama artis, tetapi tidak ada acara
sehari bersama Juara Olimpiade sains atau penemu penemuan hebat atau direktur
utama sebuah perusahaan sukse yang dapat memacu generasi muda kita untuk belajar
meneladani orang-orang sukses dan mengembangkan kreatifitasnya.
Mungkin anak-anak sekarang jauh lebih beruntung
dari saya ketika waktu kecil dulu karena dimanjakan teknologi yang serba
canggih, tetapi dalam hal pendidikan, saya jauh lebih beruntung, karena masa
kecil saya dalam lingkungan yang mendukung perkembangan pola pikir saya
sehingga matang pada waktunya. Tentunya, semua yang ditayangkan media
elektronik tidak semuanya buruk dimata saya. Saya beruntung masih ada
acara-acara yang edukatif menurut saya seperti golden way Mario Teguh, kick
andy, i witness, healthy life (Metro TV), laptop si unyil, bocah petualang,
jejak petualang (Trans7), jelajah, john pantau, balada seorang tokoh (Trans
TV), ubi rampe, teropong, horizon (Indosiar), kabar dari desa, talkshow
pariwisata (TVRI), cermin hati (Global), sigi (SCTV), Jejak Rosul (TPI), wild Indonesia (Tvone), hikmah pagi (RCTI),
lensa olahraga (Antv) dan acara lainya yang tidak bisa saya sebutkan semuanya. Ini
murni suara dari anak bangsa, mohon maaf jika menyinggung beberapa pihak, tiada
maksud lain dari hati saya selain menginginkan dan merindukan sosok pers yang
semakin baik dan mendidik.